Sajak JAYA KUSUMA AS : CERMIN

Cermin membiaskan wajah kita dengan seutuhnya.

Dari tahun ke tahun.

Cermin menolong kita mengerti diri sendiri.

Memantulkan kesetiaan atau kemunafikan.

Atau kesahajaan dibalik kepongahan.

Datang untuk pergi pada genap usia menapak tak pasti.

Memoles kebenaran atau kepalsuan.

Ia tak pernah bertanya padamu. Kalau suatu ketika kau lihat wajahmu yang retak di sana.

Tak percaya.

Kita telah menjadi tua.

Dalam cermin yang setia itu.(1998)

SAJAK A-Z

Sajak yang kutulis ini barangkali tidak bermakna apa-apa bagimu.

Karena yang engkau baca hanya sebuah sajak. Tidak lebih.

Barangkali (mungkin) suatu saat kau membutuhkannya (juga) : dalam oplet yang penuh sesak, bezoek di rumah sakit jiwa, menunggu panggilan kerja, sendirian di terminal bis kota, di ruang tamu yang kosong, atau, saat itu kau lupa dimana kau pernah membaca sajak ini.

Ah, untuk mengingatnya hanya akan menghabiskan waktumu. Sia-sia tak berguna.

Karena sajak yang kutulis ini, ya, hanya sebuah sajak. Tak lebih.(2000)

ELEGI

Pada ngalir darah jantungku. Kutikam berkali-kali, berkali-kali dengan pisauMU.

Sementara Engkau mentertawaiku mengejekku dengan kecongkakanmu yang panjang.

Betapa pun, aku setia mencium walau hanya sekedar bayangMU.

Aku cium lagi. Aku cium lagi berkali-kali dan menikamnya, berkali-kali(2000)

BERKACA PADA ANGIN

Jarak hari berlari mengejar fajar.

Bersama embun basahi pucuk-pucuk cemara dan Bumi yang pasrah.

Dulu kering dan rapuh.

Melepuh ditengah asa berharap.

Berkaca pada angin.

Mencari wajah-wajah asing yang dirindukan.

Berhias dalam temaram menahan gejolak diri.

Ibarat nafiri memanggil pulang.

Bersahajalah biduk menyibak samudera luas.

Membiarkan rentangan waktu berarak pergi jua.

0, kehidupan fana ! Biarkan lepas jejak meretas.

Biarkan laku beku membisu.

Pada angin.

Terlempar gerak membusung congkak.

Mencari silhuet geliga wajah, yang hilang cemerlang.

Pada angin.

Wajah terpahat sirna di batu cadas hari yang pergi.

Sedang angin, hanya isyarat pada riak air dan suara sayug di pucuk cemara.

Tak tahu, kemana jiwa melekat.

Dan kita, bagaimanapun mesti berkaca pada angin.

Dan pergi.

Mengharap. (2001)

Kategori: KOLOM Tags: , , ,
Topik populer pada artikel ini:

Berikan Komentar

Kirim Komentar

Bookmark dan Bagikan

Lingga Pos © 2019. Hak Cipta dilindungi undang-undang. Powered by Web Design Batam.