X

Khazanah Melayu : DEMOKRASI DALAM TRADISI POLITIK ISLAM-MELAYU

Dabo, (LINGGA POS) – Pada dasarnya, kata ISLAM dan MELAYU tentu saja merujuk pada dua makna yang berbeda; yang pertama merujuk pada sebuah tatanan dengan sekumpulan nilai yang diyakini oleh pemeluknya sebagai jalan hidup. Sementara yang kedua, Melayu (suku bangsa), berarti suatu komunitas di wilayah tertentu, dimana Indonesia (negara, red) berada di dalamnya. Karenanya, yang disebut sebagai masyarakat Melayu adalah mereka yang menjadi bagian dari komunitas di wilayah dimaksud.

Dalam perkembangannya, Islam dan Melayu menjadi dua kata yang sering harus berjalan beriringan; Islam menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Melayu, begitu pula sebaliknya. Ia menjadi sangat identik. Bagi komunitas Melayu, hal ini terefleksikan dalam satu slogan masuk Islan berarti menjadi Melayu. Slogan ini demikian mengakar, sehingga nilai-nilai yang diproduksi oleh Islan niscaya dengan sendirinya akan banyak melandasi perumusan nilai-nilai kehidupan dan perilaku masyarakat Melayu. Tak terkecuali dalam mengekspresikan gagasan-gagasan tentang politik, konsep kekuasaan, penguasa atau raja, hubungan penguasa dengan rakyat, serta hal-hal lain yang berada dalam ranah politik.

Tradisi Politik Islam.

Dalam hal ini, bangsa Melayu menjadikan Islam (baca : Islam historis) sebagai dasar perumusan etika bagi perilaku politik para penguasa di kerajaan. Gambaran tentang tesis tersebut misalnya tampak dalam pembahasan teks-teks Melayu Klasik, semisal Sejarah Melayu danHikayat Raja-raja Pasai, dua teks yang masing-masing berbicara tentang kerajaan Samudra Pasai dan Malaka pada abad ke-14 dan 15 di mana perumusan Islam sebagai basis etika politik terlihat dengan jelas pada isu-isu pokok politik yang mengemuka dalam keseluruhan isi pembahasan. Merah Silu, salah seorang Raja Pasai, digambarkan bahwa sesaat setelah beralih menjadi seorang Muslim (Islam) segera memakai gelar Arab, Sultan, dan dalam suatu sidang dengan para pimpinan dan rakyatnya, ia dinyatakan sebagai Zilullah fil Alam (Bayang Tuhan di Bumi).

Oleh karenanya, untuk melihat gambaran tentang tradisi politik Islam-Melayu ini, kita bisa melacaknya, antara lain melalui pemikiran, tradisi politik dan kekuasaan yang pernah ada dalam khazanah Islam Klasik, meskipun tampaknya periode yang dirujuk lebih pada masa dunia Muslim abad pertengahan di mana unsur Persia banyak berpengaruh didalamnya, yang oleh beberapa kalangan dianggap sebagai tidak mengakar baik dalam ajaran-ajaran Al Quran. Tentang konsep-konsep kekuasaan misalnya, dalam tradisi politik Islam-Melayu, berkembang faham bahwa penguasa memerintah berdasarkan mandat dari Tuhan, dan bukan dari rakyat. Jika ditelusur, paham ini antara lain pernah berkembang dalam tradisi politik di zaman dinasti Umayyah dan Abbasyiah, di mana penguasa dianggap sebagai bayangan Tuhan di Bumi. Seperti diisyaratkan di atas, berbagai teks Melayu Klasik, seperti Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, Adat Raja-raja Melayu, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Patani, Taj al-Salatin, Undang-undang Malaka dan sebagainya, seringkali mendiskripsikan pengabdosian gelar-gelar serupa seperti Zilullah fil Ard, Khalifah Allah di Bumi dan lainnya oleh para penguasa Islam-Melayu.

Dalam tradisi Islam-Melayu, raja atau penguasa memang merupakan figur dan lembaga yang terpenting. Raja dianggap sebagai orang yang mulia dan punya berbagai kelebihan. Posisinya setingkat dengan Nabi, dan sebagai pengganti Allah di muka bumi. Teks Taj al Salatin menganologikan Raja dan Nabi sebagai dua permata dalam sebentuk cincin. Konsep ini mengandung arti, bahwa penguasa mempunyai dua kekuasaan; dunia dan agama. Bahkan, dalam beberapa mata uang Malaka abad ke-15, Sultan dinyatakan sebagai Nashir al Dunya wa al Din (Penolong dunia dan agama), karenanya kekuasan raja atau penguasa menjadi muqaddas (suci), dan wajib hukumnya rakyat taat dan melaksanakan apapun titahnya. (oman fathurahma,km).
(bersambung…)

Categories: KOLOM