X

Khazanah Melayu : KHAZANAH BAHASA PRA-INDONESIA

(LINGGA POS) – Sejarah bahasa berkelindan dengan sejumlah masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Dari khazanah bahasa yang bermetamorfose dari waktu ke waktu itulah suatu bangsa dapat menemukan akar jati dirinya. Bahasa Indonesia yang kita pakai dewasa ini adalah hasil evolusi linguistik yang artefak-artefaknya dapat dapat dilacak jauh ke belakang. Penerbitan dokumen bahasa di masa lalu memungkinkan penulis bahasa Indonesia saat ini menengok sejarah yang bertaut antara pola berpikir dan berbahasa itu. Lewat pembacaan kembali surat-surat Raja Ali Haji kepada sahabat Belandanya Herman von de Wall, generasi sekarang dapat menjawab betapa berbedanya pola sinteksis dan ejaan bahasa Melayu yang menjadi unsur utama bahasa Indonesia itu dalam bahasa nasional saat ini.

Dalam dunia intelektual Indonesia di masa silam, Raja Ali Haji (1809-1873), termasyhur karena karya puitiknya yang legendaris “Gurindam 12”, serta risalah “Tuhfat al-Nafis”. Sedangkan sahabatnya itu, adalah pegawai pemerintah Hindia Belanda. Korespondensi keduanya berlangsung antara (1857-1872) ketika keduanya sedang mengumpulkan bahasa tulis dan menyusun kamus berbahasa Melayu. Warna dari watak Islam kuat sekali dalam surat-surat intelektual yang lahir di Pulau Penyengat Indera Sakti, sebuah pulau mungil di dekat Kota Tanjungpinang, Kepri. Dalam suratnya, (terbit 16 September 1857) Raja Ali Haji mengawalinya dengan intro semacam menyapa pada kebesaran Tuhan, “Ya Qadi al-hayat,” tulisnya. Lalu dia membuka alinea pertama dengan “Tabik yang dipesertakan dengan hormat yang tiada berkeputusan, ala al dawam, yaitu dari pada kita Raja Ali Haji. Mudah-mudahan barang disampaikan Tuhan yang diseru oleh sekalian alam jua kiranya kepada pihak majelis sahabat kita yaitu Tuan Von de Wall, asistent resident”. Alinea pertama di atas membersitkan pikiran humanisme seorang cendekiawan Islam yang patut diteladani generasi Muslim masa kini, terutama mereka yang masih memandang perbedaan teologis sebagai tabir pemisah humanisme. Alinea di atas juga dapat menjadi penjelasan etimologis tentang kebiasaan di masyarakat Betawi (Batavia,red) yang menyebut orang pertama tunggal “saya”, “aku” dengan “kita”. Rupanya satu setengah abad silam, sebutan “kita” adalah diksi santun untuk menyebut si “aku” dalam percakapan dengan orang yang dihormatinya. Di kalangan etnik Betawi yang tergolong jelata, sebutan “kita” dan “aku” itu adalah salah kaprah belaka. Pemakaian kata tugas berlebihan dalam bahasa Melayu pra-Indonesia juga menjadi ciri khas. Salah satu pemakaian partikel yang berlebihan itu tersua dalam surat yang ditulis pada November/Desember 1857, seperti “Maka adalah kita menyatakan kepada sahabat kita dari pada pasal Quran sudah kita terima dari pada tangan anak kita Raja Husin”. Kebiasaan berbahasa abad ke-19 inilah yang sering digunakan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya atau saat berbicara tanpa teks dengan lawan bicaranya. Kata tugas “dari pada” sering muncul dalam kalima penguasa era Orba itu tatkala mengatakan dua nomina. Partikel “dari pada” sering menjadi pemisah pada nomina seperti pada bentukan frasa “anak dari pada petani”, “pendapatan dari pada nelayan” dan sebagainya. (m.sunyoto/k) bersambung …