X

Khazanah Melayu : RAJA ALI HAJI SANG MAESTRO MELAYU Oleh JAYA KUSUMA AS.

(LINGGA POS) – Raja Ali Haji lahir di Pulau Penyengat Inderasakti pada 1809, putra tertua dari Raja Ahmad, seorang tokoh yang sangat berpengaruh di kalangan masyarakat Melayu yang tak lain adalah putra Raja Haji, Yamtuan Muda ke-4, yang kelak dikenal dengan gelar Raja Haji Fisabilillah marhum Teluk Ketapang, wafat 1784 dalam mempertahankan negeri Nusantara dan telah menerima gelar sebagai Pahlawan Nasional dari Pemerintah RI, menyusul kemudian gelar yang sama kepada Raja Ali Haji. Di usianya yang ke 32 tahun Raja Ali Haji bersama sepupunya Raja Ali Ibni Ja’far, dia dinobatkan menjadi bupati di masa pemerintahan Sultan Mahmud (1823-1864) di Lingga. Ia adalah seorang yang terpandang, cendekiawan (intelektual) agama, yang aktif menghimpun guru-guru agama di Riau dan sering pula diminta pendapatnya mengenai doktrin-doktrin agama Islam oleh kerabat kerajaan dan kemudian ditasbihkan sebagai penasehat keagamaan, utamanya sebagai anggota terkemuka dalam tarikat Nakshabandiah. Di kalangan sastrawan Riau, Bustan al-Katibin (Kebun Penulis-penulis) diperkirakan adalah karya pertamanya yang dicetak pada 1875 dan digunakan di sekolah-sekolah di Johor dan Singapura dan memulai penggunaan bahasa Melayu dalam tulisannya Kitab Pengetahuan Bahasa, walau pun karya tersebut tidak selesai seluruhnya, namun dianggap sebagai bukti keinginan putra keturunan Bugis ini yang ingin hidup saleh dan bersikap sesuai dengan tradisi Melayu. Menyusul kemudian buah karyanya yang lain seperti Intizam Waza’if al-Malik (Peraturan Sistimatis dari Tugas-tugas Keagamaan) (1857), yang berisikan nasehat dan perilaku raja serta aturan-aturan pemerintahan, Thamarat al-Mahammah (Pahala dari Tugas-tugas Keagamaan) (1888) atau Tuhfat al-Nafis (Hadiah yang Berharga) (1860) dan tentu saja Gurindam 12, yang monumental itu!

SANG MAESTRO.  Raja Ali Haji, wafat pada 1872 dalam usia 63 tahun dikebumikan di Pulau Penyengat, adalah seorang maestro, mpu sastrawan Melayu, tokoh agama, silsilah, sejarawan dan ahli hukum yang sangat ternama dan berpengaruh di masanya, bahkan pada 1870 pengaruh politiknya menjangkau hampir empat dekade dan diakui Belanda atas kepemimpinannya tersebut. Lebih dari itu, ia adalah seorang Muslim yang taat, hal mana membuat kaum penjajah menganggapnya sebagai ‘sangat berbahaya’ terhadap kontrol administratif mereka di Riau ketika itu. Tak kurang, Eliza Netscher, Residen Belanda dalam laporan pensiunnya menggambarkan Raja Ali Haji sebagai cendekiawan yang sangat fanatik, yang ingin ‘menghapus’ umat Kristen dan kekeristenan di Riau dan Penyengat, dan ‘bukan kawan yang baik’ bagi bangsa Eropa, dalam Memorie-nya, 1854.

TUHFAT al-NAFIS.  Disamping karya-karya sang maestro lainnya seperti Kitab Pengetahuan Bahasa, Bustan al-Katibin yang menekankan bagaimana perilaku yang benar menurut Islam agar derajat manusia lebih tinggi dari makhluk lain di dunia dan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan sifat-sifat naluriah insan berakal seperti MALU (rendah hati), ILMU (berpengetahuan), dan AKAL (daya nalar), dapat terus dipelihara. Tuhfat al-Nafis, dinilai banyak pengamat sebagai karya Raja Ali Haji yang paling terkenal, sekaligus mengukuhke reputasinya dalam historiografi Melayu. Tulisan itu bukan hanya sebagai epik sejarah, tetapi merupakan suatu pernyataan kepercayaan tempat argumentasi teologi dan etik yang diterapkan kepada ikhtisar masa lampau, sebut Barbara Watson Andaya, dalam Pikiran Islam dan Tradisi Melayu, Sub judul Tulisan Raja Ali Haji dari Riau, terbitan Grafitipers, 1983 editor Anthony Reid dan David Marr. Lebih jauh menurut keduanya, karya yang ditulis Raja Ali Haji bersama ayahandanya Raja Ahmad pada 1860 itu, banyak menggunakan materi dari karyanya sebelumnya seperti Silsilah Melayu dan Bugis, yang merupakan sumber informasi berharga bagi sejarah ‘bangsa’ Sumatera, Kalimantan dan Semenanjung Malaya, mencakup deskripsi peristiwa-peristiwa terperinci yang menjangkau hampir dua abad. Bagaimanapun, karyanya ini lebih menunjukkan ‘jatidiri’ sang maestro sebagai ‘bangsa Melayu’, yang giat menggenggam dan melestarikan tradisi Melayu Lama sekaligus sebagai Muslim yang taat, Melayu yang identik dengan Islam.

GURINDAM 12.  Lebih dari itu, tentu saja tak boleh dinafikan karya penulis yang paling prolific ini (meminjam istilah Iswandi Ariyoes) dalam terjemahannya di buku Gurindam 12 The Twelve Aphorisme, terbitan Yayasan Khazanah Melayu, 2002, yang sangat kental dengan nuansa Islami, namun tetap aktual dan tak mengenal batas waktu. Gurindam 12, berisikan penggalan-penggalan artistik seperti karya cipta lukisan dengan coretan-coretan bait yang saling mengandung makna untuk tuntunan, nasehat dan wejangan bagi setiap insan dalam mengayuh bahtera kehidupan di dunia dan akhirat nanti. Raja Ali Haji menulis Gurindam 12 di pulau kelahirannya di Pulau Penyengat pada 1846. Uniknya, karya ini ‘ditemukan’ manuskripnya dari koleksi Von de Wall (Nomor W. 233) dan kini tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), yang nota bene diselenggarakan sendiri oleh Eliza Netscher, sang Residen!    Dalam bukunya Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad ke-20, Hasan Yunus, 1988, menyebut Gurindam 12 adalah sebuah ciptaan sastra puisi didaktif berisikan nasihat dan petunjuk dengan sandaran ilmu tasawuf dan juga sebagai referensi atau terjemahan kreatif dari sebuah hadist. Raja Ali Haji, yang juga sebagai pengagum Al-Ghazali, dan sependapat dengan dia tentang kekuatan sebuah pena, yang ‘lebih berkuasa daripada seribu pedang’ (Bustan al-Katibin).

Berikut penggalan pertama dari ke-12 Gurindam 12 karya Raja Ali Haji, Pasal yang Pertama : Barang siapa tiada memegang agama, Sekali-sekali tiada boleh dibilangkan nama.  Pasal yang Kedua : Barang siapa mengenal yang tersebut, Tahulah ia makna takut.  Pasal yang Ketiga : Apabila terpelihara mata, Sedikitlah cita-cita.  Pasal yang Keempat : Hati itu kerajaan di dalam tubuh, Jikalau zalim segala anggota pun roboh.  Pasal yang Kelima : Jika hendak mengenal orang berbangsa, Lihat kepada budi bahasa. Pasal yang Keenam : Cahari olehmu akan sahabat, Yang boleh dijadikan obat.  Pasal yang Ketujuh : Apabila banyak berkata-kata, Di situlah jalan masuk dusta.  Pasal yang Kedelapan : Barang siapa khianat akan dirinya, Apalagi kepada lainnya.  Pasal yang Kesembilan : Tahu pekerjaan tak baik tetapi dikerjakan, Bukannya manusia yaitulah syaitan.  Pasal yang Kesepuluh : Dengan bapa jangan durhaka, Supaya Allah tidak murka. Pasal yang Kesebelas : Hendaklah berjasa, Kepada yang sebangsa.  Pasal yang Keduabelas : Raja mufakat dengan menteri, Seperti kebun berpagarkan duri (dari berbagai sumber).

Categories: KHAZANAH MELAYU