X

Khazanah Melayu : PULAU PENYENGAT PUSAT KESUSASTRAAN KERAJAAN LINGGA-RIAU

Dabo, LP(29/12) – Pulau Penyengat atau terkenal dengan nama Penyengat Indera Sakti, merupakan sebuah pulau kecil dalam gugusan Kepulauan Riau. Pulau ini mengalami pembangunan yang pesat pada masa Raja Ja’far, tahun 1806. Pulau dengan luas 3,5 km2 ini mempunyai beberapa kampung diantaranya Kampung Jambat, Kampung Bulang, Kampung Balik Kota, Kampung Datuk dan lainnya…..

Pulau Penyengat awalnya adalah sebagai tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda Lingga-Riau, sedangkan Sultan sebelumnya berkedudukan di Daik Lingga. Seperti diketahui, Yang Dipertuan Muda (YPM) Lingga-Riau adalah dari keturunan suku Bugis, sementara Sultan Lingga-Riau, sejatinya adalah keturunan suku Melayu penguasa kerajaan Lingga-Riau. Pembagian kekuasaan ini terjadi bermula adanya perjanjian antara Sultan Lingga-Riau dengan orang-orang Bugis yang telah membantu Sultan untuk melawan orang-orang Minangkabau.

Pada perkembangannya Sultan Lingga-Riau hijrah ke Pulau Penyengat mengingat tempatnya yang lebih strategis sebagai pusat pertahanan kerajaan. Saat itulah kemudian Pulau Penyengat Indera Sakti menjadi pusat pemerintahan yang ramai dan perkembangan kebudayaan tumbuh dengan cepat dan subur. Hal ini juga terjadi karena kemampuan baca tulis tidak hanya dimiliki dan diminati oleh kaum keluarga kerajaan, tetapi juga penduduk atau masyarakat awam. Sebut saja misalnya nama Encik Abdullah, pengarang buku tentang masalah perkawinan penduduk di Pulau Penyengat atau Khatijah Terung yang menulis buku yang dikenal dengan Kamasutranya bangsa Melayu dikarenakan isinya berkenaan dengan tata cara dan gambar tentang hubungan seksual suami-istri yang berjudul Kumpulan Gunawan.

Karya-karya yang muncul pada masa itu tercatat antara lain Kitab Tarasul, Kitab Adab al Muluk oleh Datuk Syahbandar Riau, Syair Siti Zawiyah oleh Bilal Abu, Syair Raksi, Syair Engku Putri, Syair Perang Johor dan Tuhfat an Nafis oleh Raja Ahmad, Hikayat Riau dan Syair Nasihat oleh Raja Ali, Syair Sultan Yahya oleh Daeng Wuh, Syair Madi, Syair Kahar Masyhur, Syair Sarkan dan Syair Encik Dosaman oleh Raja Abdullah, Hikayat Siak atau Sejarah Raja Raja Melayu dan Sejarah Raja Raja Riau oleh Tengku Sa’id, Syair Sultan Mahmud di Lingga oleh Encik Kamariah, Syair Burung oleh Raja Hasan, Syair Van Ophuysen oleh Raja Sulaiman, Syair Kumbang Mengindera oleh Raja Sapiah, Syair Hikayat Raja Damsyik, Syair Ibrahim Khasib, Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa Melayu Johor, Cerita Pak Belalang, Cerita Kecelakaan Lebai Malang, dam Perhimpoenan Pantoen Melajoe oleh Raja Ibrahim Orangkaya Muda dan masih banyak lainnya karya sastrawan Melayu termasuk karya monumental Gurindam 12 buah pena Raja Ali Haji (1809-1873).

Sebenarnyalah, di masa akhir kerajaan Lingga-Riau sampai keruntuhan sesudahnya, diperkirakan masih banyak karya sastra dari keharuman kedigjayaan imperium Melayu yang muncul di wilayah ini. Pulau Penyengat Indera Sakti dalam khazanah Nusantara telah menjadi pusat peradaban, pusat pemerintahan, pertahanan, adat istiadat, dan tentu saja kesusastraan. Pulau ini menjadi saksi mata peradaban yang cukup tinggi pada masanya. Karya-karya Melayu klasik yang lahir di pulau ini tentu, menjadi warisan budaya Indonesia yang tiada ternilai. Sudah menjadi kewajiban warga negara yang baik untuk senantiasa memelihara dan melestarikan warisan dari leluhur tersebut. (jk,kemilau melayu).

Categories: KOLOM

View Comments (1)