PERMEN ESDM NOMOR 7 TAHUN 2012 DAN ISU BEA KELUAR

Jakarta, (LINGGA POS) – Isu Bea Keluar (BK) sebesar 20 persen dari harga jual untuk 14 jenis bahan tambang mineral menjadi isu yang menghangat. Begitu banyak nada sumbang yang menyerang aturan yang didasarkan pada Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2012 tersebut. Keempat belas bahan tambang itu adalah tembaga, emas, perak, timah, timbal, kromium, molibdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi, nikel, mangan dan antimoni.

Lucunya, bahkan ada penantang yang mengatakan dengan menjalankan aturan ini pemerintah berpotensi meningkatkan pendapatan Rp90 triliun, tapi berpotensi kehilangan Rp252 triliun.

Dari mana kehilangan itu ? Dihitung dari potensi kehilangan pendapatan 3 juta pekerja tambang yang di PHK, karena perusahaan tambanp ‘merugi’ akibat berlakunya BK itu. Namun, sang penentang tidak melihat data BPS, bahwa pekerja di bidang pertambangan di Indonesia hanya ada 1.465.376 orang saja (data BPS tahun 2012). Apakah memang benar pemerintah tidak pro penanaman modal ?

Opportunity Lost.
Untuk menjawab hal tersebut, tentu kita harus memperhatikan beberapa variabel, diantaranya potensi barang tambang yang terbatas, pengembangan industri dalam negeri, opportunity lost dari barang tambang, potensi multiplier effect dari pengolahan barang tambang di dalam negeri, sertap variabel lainnya. Langkah krusial dengan kian maraknya ekspor barang tambang secara mentah ke luar negeri, sementara banyak industri dalam negeri yang membutuhkannya.

Berdasarkan pantauan Kementerian ESDM, beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran. Ekspor bijih nikel meningkat 800 persen, bijih besi naik 700 persen, dan bijih bauksit menanjak 500 persen. Aksi itu merupakan respons terhadap UU Nomor 4 Tahun 2009 yang menggaris bawahi kewajiban untuk mengembangkan pengolahan nila tambah barang tambang. Kenapa pemerintah menginginkan ada peningkatan nilai tambah ? Jawabannya jelas, karena dengan peningkatan nilai tambah maka harga jual barang tambang yang didapatkan dari perut bumi akan naik. Maka, tentu akan ada multiplier effect dari peningkatan nilai tambah ini, yaitu, peningkatan pemasukan pajak.

Pemerintah Bisa Raup Rp10 Triliun.
Dengan naiknya harga jual itu, jelas pengusaha tambang akan mendapatkan keuntungan, dan pemerintah juga akan mendapatkan hasil pajak yang lebih besar. Misalnya, kita ambil contoh di perut bumi ada 100 miliar ton bauksit. Jika semuanya dijual mentah akan menghasilkan Rp100 triliun, dari jumlah itu pemerintah meraup 10 persennya, atau Rp10 triliun.

Dengan Pengolahan Bisa Rp3Triliun.
Tetapi jika dengan pengolahan di dalam negeri harga jual komoditi tambang ini bisa naik tigakali lipat, dari 100 miliar ton bauksit itu pengusaha akan mendapatkan Rp300 triliun, dan dengan demikian pula pemerintah akan menerima Rp30 triliun. Perlu diingat bersama, bahwa bahan tambang adalah merupakan sumber daya yang tidak terbarukan. Jadi harus dimaksimalkan hingga nilai tertingginya dapat dicapai.

BK 20 Persen Tidak Rugikan Pengusaha.
Lagi pula Bea Keluar 20 persen tidak akan dikenakan jika barang tambang diolah di dalam negeri. Pengolahan barang tambang di dalam negeri bahkan akan memberi keuntungan lebih, dengan adanxa pembukaan lapangan kerja baru, yang berimbas kepada penerimaan gaji yang lebih besar dari bidang lain dan mendorong kian berkembangnya kelas menengah dan roda perekonomian bertumbuh lebih cepat.

Jika pemerintah begitu ragu-ragu dalam membuat kebijakan, maka terbitnya Permen ESDM ini adalah kebijakan bagus, yang sudah selayaknya didukung. Tak ada yang salah dari pemerintah, yang telah berusaha untuk memaksimalkan potensi pendapatan hasil bumi ibu pertiwi untuk kesejahteraan anaknya (rakyat). (ph,sindo)

Kategori: NASIONAL Tags: , , , , , ,
Topik populer pada artikel ini:

Berikan Komentar

Kirim Komentar

Bookmark dan Bagikan

Lingga Pos © 2019. Hak Cipta dilindungi undang-undang. Powered by Web Design Batam.