Kehadiran para pengusaha penambangan di Kabupaten Lingga untuk menguras perut bumi Bunda Tanah Melayu sejak awal sudah mendapat tantangan dari masyarakat
LinggaPos Kehadiran para pengusaha penambangan di Kabupaten Lingga untuk menguras perut bumi Bunda Tanah Melayu sejak awal sudah mendapat tantangan dari masyarakat yang umumnya menolak karena mereka belajar dari pengalaman masa lalu pasca hengkangnya PT Timah (Persero). PT Timah (Persero) telah meninggalkan kenangan buruk bagi masyarakat Kabupaten Lingga, khususnya Singkep, karena membiarkan begitu saja lubang-lubang (biasa disebut masyarakat setempat dengan “kolong” – red) berterbaran di perut bumi Pulau Singkep. Pulau Singkep dan sekitarnya dulu merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia selain Bangka, Belitung dan Karimun(Kundur).
Sekarang banyak investor yang berupaya mengeksploitasi kembali penambangan sumber daya alam yang ternyata masih cukup potensial untuk digarap. Dengan menggunakan badan hukum PT dan berbagai nama, investor tersebut coba kembali mengeruk kekayaan bumi Kabupaten Lingga. Biji besi, bauksit dan juga pasir timah di pulau dan perairan laut Singkep sedangkan tambang bauksit, biji besi dan batu besi bertebaran di pulau-pulau sekitar kecamatan Lingga, Lingga Utara, Senayang dan Singkep Barat.
Di Desa Penuba, Kecamatan Lingga, sejak tahun 2007 telah beroperasi PT. Telaga Bintan Jaya (TBJ) mengeruk bauksit, PT. Singkep Timas Utama (STU) mengeruk pasir timah di Pulau Singkep dan juga di pulau Baruk, Tanjung Tua Desa Selayar, Kecamatan Lingga. Yang disesalkan, Pemkab Lingga terkesan kurang tanggap dan seakan membiarkan begitu saja kegiatan eksploitasi bumi di Kabupaten Lingga tanpa pemantauan. Salah satu buktinya adalah di pulau Baruk, Tanjung Tua Desa Selayar, Kecamatan Lingga. Kegiatan eksploitasi penambangan sumber daya alam hasil bumi tersebut sangat memprihatinkan. Punggung pulau tersebut kini hampir serata batas ketinggian permukaan air laut.
Bahkan terakhir, PT. Bina Perkasa (BP) investor dari Batam yang semula hanya mendapat izin usaha membangun resort di Desa Temiang, Kecamatan Senayang di duga malah mengeruk biji besi di Dusun Tebam. Meskipun hal ini dibantah oleh PT BP seperti diberitakan sebuah harian lokal, namun anehnya mereka sudah berhasil mengumpulkan biji besi sekitar 20 s/d 30 Ton siap ekspor. Dengan beroperasinya penambangan-penambangan, baik penambangan liar maupun berizin tanpa kontrol yang ketat dari Pemerintah setempat tersebut dampaknya cukup luas: hasil bumi dan laut berkurang, mengganggu atau malah merusak ekosistem.
Padahal masyarakat Lingga dengan populasi sekitar 7500 penduduk masih termasuk kategori masyarakat miskin (RTM). Penduduk tempatan masih mengandalkan mata pencaharian nelayan dan petani, yang tentunya sangat bergantung terhadap kelangsungan ekosistem secara keseluruhan. Apalagi yang dapat mereka lakukan? Kebanyakan penduduk yang berada dibawah kemiskinan dan berpendidikan rendah terperangkap dengan diiming-imingi uang ganti rugi. Padahal uang ganti rugi yang mereka terima jauh dari memadai jika dibanding dengan keuntungan yang diperoleh para investor. Menurut sumber Lingga Pos, besaran yang diterima dari ganti rugi bervariasi sekitar Rp. 8 juta untuk lahan berisi (ada tanaman) dan Rp. 4 juta untuk lahan kosong, itupun dibayar tidak sekaligus alias dicicil.
Membiarkan keadaan ini terus berlanjut justru akan menghancurkan masa depan masyarakat Kabupaten Lingga dan anak cucu kita semua secara global. Jangan sampai kejadian yang sama terulang seperti yang dilakukan PT. Timah (Persero) terhadap Pulau singkep. Ini memang hal yang dilematis. Satu pihak keberadaan para pengusaha/investor untuk menanamkan modalnya sangat diharapkan, namun dipihak lain, kepentingan masyarakat banyak menjadi taruhan.