SIAPA PENCIPTA LAMBANG GARUDA PANCASILA?

(LINGGA POS) – Hingga saat ini, siapa sebenarnya pencipta lambang Garuda Pancasila belum diketahui secara pasti. Meski pun, Muhammad Yamin, yang pernah menjadi Ketua Panitia Lencana Negara di masa Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS), pernah disebut-sebut sebagai pencipta lambang negara itu. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa lambang Garuda Pancasila dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno. Sementara berkenaan dengan kata Pancasila sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, dari kata Panca (lima) dan Sila (dasar) atau berarti Lima Dasar Negara. Dalam sejarahnya, burung garuda mulai menjadi lambang negara Indonesia pada 17 Agustus 1950 atau lima tahun pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, namun secara resmi baru masuk dalam Peraturan Pemerintah (PP) pada 17 Oktober 1951, (PP Nomor 66) dengan bentuk dan nama Garuda Pancasila, buah karya Soekarno. Menurut PP Nomor 66, gambar garuda itu diambil dari khazanah peradaban bangsa Indonesia sendiri yang terlukis di sejumlah candi sejak abad ke-6 hinga ke-16 sebagai lambang tenaga pembangunan. Dari mitologi nenek moyang bangsa Indonesia, burung garuda dilukiskan mirip dengan burung elang yang terlukis di Candi Dieng, Candi Prambanan dan Candi Penataran. Di Candi Dieng, misalnya burung garuda dilukiskan sebagai manusia yang berparuh burung, bersayap. Sementara di CandiPrambanan dan Candi Penataran (Jawa Timur) bentuknya berparuh panjang, berambut panjang dan bercakar. Sedangkan bagi masyarakat Bali juga terdapat garuda bernama Jatayu yang dikisahkan dalam hikayat Ramayana. Dan, Raja Erlangga, menggunakan garuda sebagai Cap kerajaan dengan nama Garudamukha. Di Eropa, diketahui pula dalam buku tentang lambang kerajaan yang terbit pada 1483, Conrad Gruenenberg, Ritter dan Burgers menunjukkan lambang Raja Jawa bergambar burung Phoenix di atas api unggun, dan Raja Sumatera memakai lambang burung rajawali yang digambar dari samping dengan cakarnya mengarah ke depan.

LAMBANG GARUDA DI DUNIA.  Burung Garuda atau Rajawali adalah sejenis burung pemakan daging yang dianggap perkasa, dan terdapat di semua benua kecuali di benua Antartika. Kebesaran garuda mengilhami banyak orang sejak zaman Batu Tua, ketika burung garuda tampil di gua Eropa. Garuda melambangkan kekuatan, keberanian, kebebasan dan keabadian serta menjadi lambang negara, tentara, kepeloporan dan juga agama. Garuda berkepala satu atau dua berperan sebagai lambang kebesaran dan kesatuan kekaisaran Belshazzar dari Babylonia, Julius Caesar, Karl Akbar, atau kaisar Romawi dan Byzantium, hingga Napoleon Bonaparte, Tsar Rusia dan kaisar Austria. Garuda yang gagah sebagai lambang kemenangan, keberanian dan kebangsawanan terdapat pada panji perang bangsa Sumeria, Persia, Mesir dan legiun perang Romawi. Dan di banyak agama kuno, garuda melambangkan kekuatan perlindungan dari para dewa, menjadi sahabat dewa guru. Di beberapa suku di India Amerika Utara yang memakai garuda sebagai lambang keabadian leluhur pada totem (tiang) dalam upacara adat. Dalam agama Yahudi dan Kristen, burung rajawali mewakili terbangnya jiwa ke surga dan pemenuhan janji suci. Seekor garuda yang menggiit ular pada lencana kebangsaan Meksiko melambangkan kebesaran atau kesejahteraan. Pada 1782, Amerika Serikat membuat lencana dengan gambar garuda berkepala plontos mengepakkan sayap sedang memegang panah peperangan dan ranting pohon zaitun sebagai lambang perdamaian, mewakili kekuatan dan kebesaran negara Paman Sam serta muncul di mata pecahan 10 dolar Amerika Serika dan di mata uang banyak negara lainnya.

GARUDA PANCASILA.  Kita ketahui jumlah helai bulu Garuda Pancasila melambangkan angka, tanggal, bulan dan tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yaitu 17 helai di masing-masing sayap, 8 helai di ekor, 19 helai di bawah perisai dan 45 di leher. Cakarnya mencengkram pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, yang pada Pasal 5 lampiran PP Nomor 66 disebut gabungan dua kata, ‘bhina’ dan ‘Ika’. Kalimat selanjutnya dapat diterjemahkan dengan,’Berbeda Tapi Satu Jua’. Namun, kedua kata itu sering menimbulkan salah tafsir. Banyak yang mengira kata Ika berarti satu, padahal kata itu adalah sebagai kata penunjuk yang berarti Itu, yang hingga kini masih dipakai dalam bahasa daerah di Jawa Timur, dimana arti harfiahnya ‘Bhina Ika (Bhinneka) Tunggal Ika’ yang berarti ‘Beda itu Satu itu’, kata ini diambil dari kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, pada pertengahan abad ke-14. Mpu Tantular memakai kata itu untuk menjelaskan perbedaan guna menyerasikan pendapat antar dua agama zaman itu (Hindu dan Budha) atau lengkapnya berbunyi ‘Siwatattwa lawan Buddharattwa Tunggal, Bhinneka Tunggal Ika, Tauhana Dharma Margrwa’ (Siwa dan Budha Itu Satu, Berbeda Tapi Satu, Tidak Ada Ajaran yang Bersifat Mendua).

68 TAHUN KEMERDEKAAN.  Hingga  usia ke-68 tahun Kemerdekaan Indonesia dari bangsa penjajah. Selayaknya kita kembali merenungkan arti dan makna yang terkandung dari ucapan Mpu Tantular itu. Keberanian akan berdiri sendiri untuk membangun bangsa kokoh mandiri seperti tersirat pada lambang Garuda Pancasila. Rasa persatuan dan kesatuan yang seakan semakin memudar perlu kita nyalakan segera agar tidak padam dan hilang dalam kegelapan zaman. Bersatu menatap dan membangun masa depan bagi generasi mendatang dalam percaturan dunia. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. (jk,bs,ant,sbs)

Kategori: IPTEK, NASIONAL
Topik populer pada artikel ini: pencipta trofi piala dunia

Berikan Komentar

Kirim Komentar

Bookmark dan Bagikan

Lingga Pos © 2019. Hak Cipta dilindungi undang-undang. Powered by Web Design Batam.