Jakarta, (LINGGA POS) – Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane mengatakan tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan hukum di tanah air sudah terbeli. “Kasus ini menunjukkan hukum sudah terbeli dan tidak ada lagi panutan di negeri ini. MK sebagai lembaga tinggi negara yang diharapkan menjadi garda terdepan pengawal tertinggi konstitusi pun tidak bisa diharapkan lagi,” katanya, dirilis dari Antara, Kamis (3/10). Ia menambahkan, negeri ini sepertinya sudah tidak punya harapan untuk menegakkan hukum dan konstitusinya. Adanya penangkapan Ketua MK, Akil Mohtar dan beberapa pejabat penyelenggara negara dan pengusaha menandakan mafia dan praktek mafia sudah masuk begitu jauh dalam kehidupan elit dan pejabat tinggi negara. Namun, terlepas dari iu, IPW tetap memberi apresiasi kepada para penyidik Polri yang bekerja di KPK yang sudah berani dan bersikap profesional melakukan operasi tangkap tangan terhadap Ketua MK. Operasi tersebut menunjukkan sikap konsisten peran penyidik Polri di KPK dalam memberantas korupsi dan melakukan penegakan supremasi hukum. “IPW berharap kasus ini menjadi tonggak bagi para penyidik polisi dan KPK untuk melakukan operasi tangkap tangan lagi di lembagag-lembaga tinggi negara agar ada efek jera bagi para pejabat yang hendak bermain-main dengan korupsi,” katanya.
Akil Mohtar ditangkap oleh penyidik KPK pada Rabu (2/10) sekitar pukul 22.00 WIB di rumah dinasnya di Komplek Widya Chandra 3 No. 7 Jakarta Selatan bersama empat orang lainnya termasuk anggota DPR dari Partai Golkar Chairun Nisa, kepala daerah (Bupati) di salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah, di duga menerima uang terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Juru bicara KPK Johan Budi dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Kamis dinihari, mengungkapkan bersama pesakitan tersebut juga berhasil disita barang bukti uang dolar Singapura dan dolar Amerika yang ditaksir sekitar Rp 3 miliar. Akil Mohtar (Mochtar) baru dalam hitungan bulan terpilih menjadi Ketua MK (April) menggantikan Mahfud MD yang memasuki masa pensiun. Sebelumnya dia adalah salah satu Wakil Ketua MK pada (2009) dan sebelumnya duduk di DPR dua periode dari Partai Golkar, dimana kemudian dia duduk sebagai hakim konstitusi menyusul pernah dilaporkan Refly Harun dalam kasus suap Rp 1 miliar, namun dinyatakan tak terbukti bersalah. Pria kelahiran Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada 18 Oktober 1960 ini, akhirnya ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK dan ditingkatkan kasusnya kepenyidikan. Mantan Ketua MK Jimly Assidiqi yang kemudian digantikan Mahfud MD ini meminta agar Akil Mohtar dikenakan hukuman mati. (rf/ant,ar/k)