43 TERPIDANA KORUSI BELUM DIEKSEKUSI

Jakarta (LINGGA POS) – Kejaksaan Agung didesak agar segera mengeksekusi seluruh terpidana kasus korupsi berikut uang pengganti yang telah diputuskan Mahkamah Agung (MA). Penyelesaian eksekusi itu untuk membuktikan komitmen pemerintah SBY dalam penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi. “Wajah pemberantasan korupsi oleh pemerintah ada di kejaksaan dan kepolisian, bukan di KPK. Ini jadi beban buat presiden, karena kejaksaan itu berada di bawah presiden,” kata aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Tama Satya Langkun, saat jumpa pers di kantor ICW, Jakarta, Minggu kemarin. Hadir dalam jumpa pers tersebut dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) Erwin Natosmal dan dari Indonesian Legal Rountable (ILR). Mereka menyikapi Kejaksaan yang dinilai masih setengah hati dalam pemberantasan korupsi. Setidaknya dari data yang ada ditengarai 43 orang terpidana korupsi yang belum dieksekusi dengan berbagai alasan. Para terpidana terlibat dalam 37 kasus korupsi yang divonis sejak 2004 hingga 2012. Kasus terbanyak berada di bawah lingkup Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah sementara sisanya menyebar di berbagai daerah.

Data juga menyebutkan, masih ada 25 orang terpidana yang buron. Namun berdasarkan data laman resmi Kejaksaan Agung, hanya 7 orang terpidana saja yang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).Para terpidana yang belum dieksekusi tersebut antara lain Sumito Tobing (kasus pengadaan peralatan TVRI), Sumadikin Hartono kasus BLBI Bank Modern, Adelin Lis kasus dana reboisasi dan illegal logging, Djoko S. Tjandra, kasus cessie Bank Bali. Alasan Kejaksaan belum melakukan eksekusi karena mereka masih buron, sakit atau sakit jiwa serta masih mengajukan peninjauan kembali (PK). Padahal, berdasar UU, PK tidak bisa menghalangi eksekusi. Pihaknya juga mempertanyakan sejauh mana langkah Kejaksaan dalam upaya memburu para koruptor yang buron tersebut.

PERAMPASAN ASET. Selain eksekusi fisik terpidana, Kejaksaan juga didesak bergerak cepat memproses eksekusi harta hasil korupsi mereka, termasuk misalnya putusan MA terhadap aset milik mantan Presiden Soeharto di Yayasan Beasiswa Supersemar yang telah diputuskan MA pada 2010 harus membayar denda senilai Rp3,17 triliun. Namun, hingga sekarang (3 tahun) pasca putusan inkrah, ternyata tidak ada kemajuan berarti dalam proses eksekusinya. “Kenyataan, masih ada enam yayasan lain milik penguasa Orba itu yang harus digugat kembali oleh Kejaksaan selaku pengacara negara,” kata Erwin dari IRL.

Ditambahkan Tama, dari hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, menyebutkan saldo piutang Kejaksaan per tanggal 30 Juni 2012 saja, khususnya untuk uang pengganti mencapai Rp12,7 triliun dan US $290,4 juta. “Kalau ada uang pengganti yang tidak bisa dieksekusi, ambil hartanya, jika tak cukup baru diganti pidana kurungan. Kami mendesak Kejaksaan Agung mengeksekusi uang pengganti dan denda untuk memaksimalkan asset recovery tersebut,” kata Tama. Dikhawatirkan lambannya proses eksekusi Kejaksaan justru akan memperbesar peluang bagi para koruptor untuk melarikan diri, seperti putusan bebas terhadap Sudjiono Timan dalam kasus korupsi BLBI oleh majelis hakim PK di MA, yang hingga pada tingkat kasasi Sudjiono Timan telah dinyatakan bersalah, namun dinyatakan bebas. “Kami khawatir, 37 kasus ini akan mengalami hal yang sama,” imbuh Erwin. (sg/k)

Kategori: NASIONAL
Topik populer pada artikel ini:

Berikan Komentar

Kirim Komentar

Bookmark dan Bagikan

Lingga Pos © 2019. Hak Cipta dilindungi undang-undang. Powered by Web Design Batam.