MENUNGGU TERBENTUKNYA KABUPATEN KEPULAUAN SINGKEP (KKS) (2) 0leh JAYA KUSUMA AS*

1455144_432179150241232_1433321120_nLINGGAPOS – Masih perlu menjadi catatan kita bersama, misalnya dari rilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang tak memberikan opini (disclaimer) pada laporan keuangan dari 67 DOB. Ini membuktikan, hanya untuk mendapatkan opini ‘tidak wajar’ saja ada daerah yang tak mampu. Memang tak mengherankan, korupsi merajalela, suap menyuap dan permainan komisi terus mewarnai di sektor perizinan usaha, pengadaan barang dan jasa. Pada kurun 2004-2012, tercatat ada 1.500 anggota DPRD dan 213 bupati/walikota terseret kasus yang – sebagian besar – berasal dari daerah pemekaran (DOB). Agaknya, sistem pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) dimanipulasi oleh oknum elit lokal untuk membangun dinasti politik dan bisnis demi hasrat raja-raja yang ‘jadi’ dan untuk terus melanggengkan kekuasaannya.

Masyarakat yang terikat dalam primordial digiring ke pusaran konflik horizontal dan harus menjadi penonton setia, bahkan sebagai tumbal kekuasaan. Biaya politik yang mahal untuk menjadi ‘pemimpin’, tidak saja pada saat penyelenggaraan pilkada berlangsung, tapi ketika ada sengketa yang kemudian di bawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), terjadinya praktik transaksional dalam proses siapa yang sebenarnya menjadi pemenang atau yang harus dikalahkan atau sebaliknya, harus ditebus dengan dana yang tidak sedikit (antara lain kasus dugaan korupsi pilkada yang melibatkan Ketua MK, Akil Mochtar). Atau sinyalemen dari Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofyan Wanandi. Menurut dia, penerapan sistem otda yang dilakukan sejak era reformasi telah membuat ekonomi Indonesia semakin kolaps. Itu disebabkan adanya berbagai kebijakan yang dipegang oleh setiap daerah dan dilakukan dengan sewenang-wenang. “Harusnya ekonomi kita tumbuh 8-9 persen, sekarang cuma 6-7 persen dan 2 persen dikorbankan,” kata Sofyan. ‘Raja-raja’ baru (pemimpin daerah), lanjut dia, sering membuat peraturan seenaknya yang menguntungkan mereka. Akibatnya, pengusaha dan rakyat menjadi pihak yang dirugikan. “Peraturan daerah (Perda) itu selalu dimanfaatkan. Kalau mereka tidak suka dibuat seperti ini, kalau suka dibuat seperti itu,” kata Sofyan dalam diskusi Pilkada Dalam Konflik Otda, di Jakarta, awal November lalu.

KABUPATEN KEPULAUAN SINGKEP (KKS). 

Kisahnya, dari sejak awal terbentuknya Kabupaten Lingga yang merupakan pemekaran dari tiga kecamatan Senayang-Lingga-Singkep (SELINSING), benih-benih niat untuk membentuk lagi kabupaten baru (DOB) yang kelak bernama Kabupaten Kepulauan Singkep (KKS) ini, sudah menjadi virus yang tumbuh hingga usia Kabupaten Lingga ke-10 tahun, dan semakin bergejolak meski pun sempat vakum beberapa waktu. Dikotomi penentuan letak ibukota kabupaten sepertinya adalah awal dari berbagai permasalahan yang timbul, kalau tidak boleh dikatakan sebagai konflik. Antara ‘orang Singkep’ dan ‘orang Daik’, antara Bupati (Daria)-Wakil Bupati (Saptono Mustakim), antara Ketua DPRD (Alias Wello)-Wakil Ketua DPRD (Kamaruddin Ali) dan seterusnya, yang kesemuanya berakibat tidak jalannya roda pemerintahan dengan baik, benar dan normal. ‘Kegaduhan’ itu terus berlanjut pada paruh kedua kepemimpinan Daria-Abu Hasyim, meski pun ibarat api dalam sekam. Sempat pula, beberapa pihak di Singkep melakukan Mubes (Musyawarah Besar) tandingan, konon, Singkep bergabung saja dengan Provinsi Jambi. Namun kemudian senyap, tak tahu kemana arahnya.

Wacana Singkep dan Singkep Barat (dua kecamatan) mau melepaskan diri dari Kabupaten Lingga untuk menjadi Kabupaten Kepulauan Singkep, tentu dengan alasan klise untuk memutus rentang kendali yang selama ini dirasa mengungkung orang Singkep. Pihak yang menamakan dirinya Badan Pekerja Pembentukan Kabupaten Kepulauan Singkep (BP2KKS) terakhir diberitakan telah menyerahkan hasil kajian akademis dari Universitas Indonesia (UI) tentang kelayakan KKS, Senin (25/11). Disebutkan, KKS sudah layak untuk berdiri sendiri sebagai DOB. Jauh hari sebelumnya, tak kurang pula Bupati Lingga dan Ketua DPRD Lingga menyatakan dukunganya untuk dibentuknya KKS malah secara tertulis ‘untuk kesejahteraan masyarakat’. Namun, secara legal formal pihak legeslatif hingga mendekati ujung tahun nampaknya belum akan melaksanakan paripurna sebagai dukungan resmi atas pembentukan KKS.

Dalam hal ini kita hanya sebatas mengingatkan, bahwa ibarat pepatah untuk membuat jadi sesuatu memang sulit, tetapi untuk menjaga sesuatu yang telah jadi adalah yang paling sulit. Bagaimana dengan ketersediaan SDM, dan perlu pula diapresiasi pernyataan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari dapil Kepri Harry Azhar Azis yang mengatakan APBD Lingga ternyata masih berada di bawah Rp1 triliun alias belum tembus ke angka Rp900 miliar. “Ini masih di bawah standar nasional,” kata dia dalam diskusi panel Optimalisasi Pengawasan Atas Kekayaan Negara yang Dipisahkan, di Aula Kantor Bupati Lingga, awal November lalu. Karena itu dia meyarankan agar Pemkab Lingga harus terus menggesa peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), dan tidak tergantung semata-mata dari Pemerintah Pusat, bahkan di usia Lingga yang sudah 10 tahun. Nah, bagaimana dengan KKS.

Tercatat, APBD Lingga 2013 hanya berkisar Rp865 miliar dan dengan angka segitu nyaris seluruhnya bersumber dari bantuan Jakarta. Dari PAD Lingga? Hanya Rp20 miliar saja! Kehadiran perusahaan tambang yang meluluhlantakkan tanah air Lingga yang berjuluk Bunda Tanah Melayu ini tak dapat menyentuh dan dirasakan masyarakat manfaatnya kecuali hanya menunggu saat-saat kehancuran masa depan yang tak pasti bagi anak cucu akibat amuk para pengusaha tambang yang berlomba-lomba mengeruk tanah air Lingga hingga tetes terakhir. Hingga saat ini terus dibiarkan bersimaharajalela tanpa kuasa mencegahnya. Ironisnya, di tengah-tengah ketidakmampuan mendongkrak PAD, wabah perilaku memperkaya diri sendiri para oknum elit berkuasa ikut menggerus keuangan daerah. Terbukti dari level atas hingga bawah, sudah berapa orang yang menjadi pesakitan dan menginap di hotel prodeo. Ini semua semakin menambah ketidakberdayaan daerah dalam usaha, seperti yang dicita-citakan bersama dengan membentuk daerah pemekaran baru adalah untuk mensejahterakan masyarakat di daerah itu khususnya dan bagi kemashalatan orang banyak dalam kerangka NKRI. Kita semua berharap, pertimbangan rasional perlu di dahulukan bukan semata karena kepentingan sesaat yang pada akhirnya membuat kita semua semakin terpuruk tak berdaya. Tabik, selamat berjuang untuk membangun masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. (*Sekretaris Forum Wartawan Lingga/FWL Kabupaten Lingga)

Kategori: KEPRI, LINGGA
Topik populer pada artikel ini:

Berikan Komentar

Kirim Komentar

Bookmark dan Bagikan

Lingga Pos © 2019. Hak Cipta dilindungi undang-undang. Powered by Web Design Batam.