Menurut Rudi, besaran dan penentuan dana ADD yang diberikan kepada setiap desa akan bervariasi didasarkan pada azas merata dan adil. “Semua desa penerima nantinya ditentukan secara proporsional dan digunakan untuk membiayai operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dalam menjalankan tugas pekerjaan, pelaksanaan pembangunan dan peningkatan pemberdayaan masyarakaj yang ditetapkan dalam APB-D (desa),” paparnya. Seperti diketahui, salah satu pasal dalam UU Desa tersebut mengamanatkan APBN mengalokasikan dana Rp1 miliar per desa per tahun. Diharapkan, kucuran dana yang cukup menguras APBN itu justru hanya akan semakin mengembangbiakkan praktik korupsi dari pusat ke desa. Atau masyarakat desa akan tercerabut dari akar budaya dan tradisinya. Hal itu dikatakan Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, di kantornya, Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta, Rabu kemarin. Perlu ada langkah preventif sehingga dana tersebut tak menjadi penyemai korupsi di tingkat desa.
KADES HARUS MAMPU MENGELOLA ADD.
Aparatur desa, utamanya Kepala Desa, harus disiapkan agar mampu mengelola anggaran ADD, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pelaporan (yang nantinya akan diaudit langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK, red), hingga evaluasi. Tanpa kesiapan dari para pihak yang berkepentingan di desa, kucuran dana tersebut justru akan menimbulkan problem bagi desa terkait. Menariknya, dari hasil survei misalnya, disinyalir banyak Kepala Desa yang tidak mengerti bagaimana cara menyusun perencanaan anggaran dengan baik dan benar hingga dapat diaudit dan bahkan ada pula Kepala Desa yang sudah berencana untuk menolak kucuran dana ADD Rp1 miliar itu karena mereka kuatir tidak bisa mempertanggungjawabkanpenggunaannya sesuai mekanisme yang telah ditentukan. Padahal, tujuan pemerintah tentu agar kucuran dana itu bisa menjadi kesempatan bagi desa untuk berkembang dan menikmati pembangunan. Namun, bila tidak hati-hati menggunakannya, maka desa tersebut nantinya semata-mata menjadi pasar bagi para kapitalis. (arn,kc)