Dabo,LP( 26/1) – Tuhfat al- Nafis adalah buku sejarah karangan Raja Ali Haji, sastrawan dari Kepri dan pangeran Kesultanan Riau-Lingga keturunan Bugis. Buku ini ditulis pada tahun 1885 dalam huruf Jawi. Dalam buku ini dicatat kejadian-kejadian yang berlangsung pada abad ke 18 dan 19 di berbagai negeri Melayu.
Ada empat manuskrip Tuhfat al-Nafis yang diketahui. Naskah yang disalin pada 1890 diterbitkan pada 1923 untuk Journal of the Malayan Branch Royal Asiatic Society, London. Buku ini diawali dengan ringkasan yang diambil dari Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), dan kemudian menceritakan dengan lebih terinci sejarah Kesultanan Johor-Riau. Figur dinamis dalam buku ini adalah para pangeran Bugis, yang dengan kecekatan militer dan diplomasinya berhasil meraih kedudukan penting di negeri-negeri Riau, Selangor, Sambas dan Matan-Sukadana.
Tema yang berulang dalam paruh pertama Tuhfat adalah konflik antara orang-orang Minangkabau dari Siak dan angkatan aliansi Bugis dan Melayu. Konflik ini terjadi di wilayah Riau dan di Kedah, Selangor, Siak dan Kalimantan. Paruh kedua, meliputi pertengahan abad ke-18 sampai 1864 menceritakan berkembangnya permusuhan antara orang-orang Bugis dan Melayu di Riau, dan dua serbuan yang dipimpin orang Bugis terhada Belanda di Malaka pada 1756 dan 1784. Serangan terakhir ini berakhir ketika Belanda menandatangani perjanjian dengan sultan Riau yang menyatakan kerajaannya hanya merupakan bawahan (fief) dari Serikat Dagang Hindia Belanda (VOC). Meskipun berpusat pada sejarah Riau dan Johor, Tuhfat juga memadukan sejarah berbagai negeri Melayu lainnya seperti Siak, Kedah, Selangor, Kelantan, dan pantai barat Kalimantan. Ianya juga merupakan karya sejarah Melayu yang paling kompleks dan mendalam dibandingkan dengan semua karya Melayu yang dikarang sebelum abad ke-20. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Tuhfat al- Nafis sering dijadikan rujukan dalam penulisan sejarah Melayu.
Bangsa Melayu boleh berbangga karena pada masa lampau memiliki seorang pujangga besar yang telah melahirkan karya agung, Tuhfat al- Nafis. Sebuah karya sastra yang membuat orang terkagum-kagum karena dibuat secara profesional. Menurut Taufik Ismail, sumbangsih Raja Ali Haji tidak kalah dari apa yang telah diberikan oleh tiga orang Pahlawan Nasional dari Riau lainnya (Tuanku Tambusai, Sultan Syarif Kasim II, dan Raja Haji Fisabilillah). Jika ketiganya banyak bergerak dalam dimensi perjuangan fisik, maka Raja Ali Haji banyak bergerak dalam bidang pencerahan dan pencerdasan bangsa. Dia tidak berperang menghunus pedang, atau memberikan sumbangan materi bagi masyarakatnya, tetapi dengan keintektualannya melalui karya tulis.
Karya-karya tulisnya yang kemudian melintasi zaman, bahkan diakui oleh filsuf barat Francis Bacon. “Manusia boleh mati, tetapi ia bisa memperpanjang umurnya, jika dia meninggalkan sesuatu yang ‘abadi’, yaitu sebuah karya,” kata Bacon. Menurutnya, sebuah karya yang terbuat dari pengetahuan dan kearifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil karya lain semisal monumen, istana, candi ataupun sebuah kota. Tidak mengherankan jika Raja Ali Haji menjadi tokoh kawasan Melayu yang paling banyak dikaji oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu seperti bahasa, sastra maupun budaya. Ia memang merupakan tonggak penting bagi kesustraan Indonesia. (jk,kemilau melayu)